Dibuat Oleh Muhammad Adrian Perdana, S.IP.,M.Si Dosen Manajemen Kontrak Pemerintah, Politeknik Pengadaan Nasional
Opini (CakraRiau.com) - Badan Kepegawaian Negara (BKN) baru-baru ini mengumumkan bahwa 1.967 calon Aparatur Sipil Negara (CASN) memilih mengundurkan diri pasca-proses optimalisasi penempatan. Kebijakan ini, meski berhasil mengisi 88% formasi yang awalnya kosong, menyisakan pertanyaan: Mengapa 12% kandidat menolak penempatan?
Dalam perspektif Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), fenomena ini mencerminkan tantangan klasik rekrutmen vs. retensi, di mana efisiensi administratif tidak selalu sejalan dengan kepuasan karyawan. Artikel ini menganalisis akar masalah, implikasi kebijakan, dan solusi berbasis teori MSDM untuk meminimalkan turnover di sektor pemerintahan.
Kebijakan optimalisasi BKN dirancang untuk meminimalkan vacancy rate dengan menawarkan posisi alternatif bagi CASN yang tidak lolos di formasi awal. Misalnya, kandidat dosen sosiologi di Universitas Jember yang tidak masuk top rank dialihkan ke Universitas Nusa Cendana. Secara normatif, pendekatan ini efisien karena menggunakan prinsip merit system (penempatan berdasarkan ranking) serta memenuhi target pengisian formasi (16.167 posisi terisi 88%).
Namun, dari sudut pandang psikologis dan praktis, kebijakan ini bermasalah karena mengabaikan person-organization fit: Kandidat mungkin tidak siap dengan budaya kerja atau lokasi geografis instansi baru, Memicu psychological contract breach (Rousseau, 1989): CASN merasa "janji implisit" (bekerja di lokasi pilihan) dilanggar dan minim fleksibilitas: Tidak ada negosiasi atau pertimbangan kondisi personal (kesehatan, keluarga,).
Masalah Utama: Mengapa CASN Mundur?
Berdasarkan penjelasan BKN, alasan pengunduran diri meliputi penempatan jauh dari domisili, berdasarkan analisa ketidaknyamanan relokasi meningkatkan turnover intention (Mobley, 1977), kendala kesehatan: Kebijakan kaku tidak mempertimbangkan keterbatasan fisik kandidat, kurangnya transparansi awal: CASN tidak diberi tahu sejak awal tentang kemungkinan penempatan di luar pilihan.
Hal inipun berimplikasi pada biaya turnover yakni proses rekrutmen ulang memakan waktu dan anggaran serta demotivasi kandidat: Citra BKN sebagai institusi employee-friendly bisa tererosi.
Solusi: Pendekatan MSDM yang Lebih Holistik
Untuk mengurangi angka pengunduran diri, BKN bisa mengadopsi strategi yakni pertama preferensi kandidat sejak awal, yakni bisa menggunakan survey kepuasan dan kesediaan relokasi saat pendaftaran dan menerapkan konsep job matching berbasis AI untuk mempertimbangkan preferensi lokasi dan bidang. Kedua, insentif dan dukungan relokasi hal ini bisa berupa pemberian tunjangan relokasi atau fasilitas akomodasi sementara kemudian membuat program "penyesuaian budaya" bagi CASN yang ditugaskan di daerah baru. Ketiga, fleksibilitas kebijakan, beri opsi penundaan penempatan bagi kandidat dengan kendala kesehatan/familial serta adakan konseling pra-penempatan untuk memitigasi stress relocation. Terakhir, Komunikasi Proaktif, sosialisasikan kemungkinan penempatan di luar pilihan sejak tahap seleksi dan bangun psychological contract yang realistis melalui townhall meeting atau webinar.
Kebijakan BKN patut diapresiasi karena berhasil mengisi ribuan formasi, tetapi efisiensi tanpa human touch berisiko kontraproduktif. Dengan mengintegrasikan prinsip human-centered design dalam MSDM sektor publik, pemerintah tidak hanya bisa menekan angka turnover, tetapi juga membangun ekosistem ASN yang lebih adaptif dan berkelanjutan.
Catatan Akhir: "Optimalisasi bukan sekadar mengisi kursi kosong, tapi memastikan orang yang duduk di sana betah dan produktif."
Comments